PENGANTAR PSIKOTERAPI (2)
Posted
Pada dasarnya antara konseling dan
psikoterapi dalam hal tujuan sama-sama ingin membantu agar klien dapat
menemukan permasalahan untuk kemudian dapat dipecahkan bersama-sama, namun
semua itu hanya dapat terlaksana dengan baik manakala klien dapat membuka diri
dan mau diajak kerjasama.
Adapun
perbedaannya lebih kepada pendekatan dan cara penanganannya, dimana konselor
sebagai mitra yang dapat memberikan masukkan dan membantu untuk memunculkan
suatu permasalahan yang dirasakan klien baik masalah yang disadari maupun yang
tidak disadari, sedangkan psikoterapis selain menggunakan tehnik konseling
ia juga menggunakan terapi yang sifatnya lebih kepada perubahan pada prilaku
yang sangat substanstib. Selain itu paradigma yang selalu ditekankan adalah
adanya rasa kepercayaan yang selalu mesti dilakukan psikoterapis buat
menumbuhkan optimism pada diri klien. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai
perbedaan konseling dan psikoterapi serta bentuk-bentuk utama dari terapi.
A.
Perbedaan
Konseling dan Psikoterapi
Menyatakan seseorang sebagai
berkepribadian neurotic, bukanlah
sesuatu yang mudah dilakukan, demikian pula dengan perkataan atau ucapan
normal, terhambat, terganggu, abnormal, yang mudah untuk diucapkan namun sulit
untuk ditentukan batasan-batasannya dan yang mempersulit untuk memperoleh
pegangan kepada siapa atau siapa yang seharusnya dan sesuai untuk memberikan
bantuan professional. Seseorang yang terhambat kepribadiannya yang berakar
mendalam dalam dirinya, bisa saja melakukan kegiatannya sehari-hari, tanpa
terpikir bahwa ia sebenarnya memerlukan bantuan professional (professional
help) dari seorang psikoterapis. Seseorang yang terganggu sedikit
fungsi kepribadiannya, bisa saja ia melakukan kegiatan sehari-hari dan
sekali-sekali merasa butuh untuk berkonsultasi dengan seorang konselor dan
tidak merasa butuh untuk menjalani psikoterapi. Kepribadian seseorang yang
terhambat (dalam arti lebih mendalam) atau terganggu (yang mungkin bersifat
sementara atau tidak menetap) bisa menjadi salah satu pegangan utnuk membedakan
profesi seorang konselor dan psikoterapi.
Konselor dan psikoterapis keduanya
mempunyai latar belakang pendidikan yang pada umumnya berbeda, namun ada
kesamaan pada subjek tertentu yang harus dipelajari dan dilatih (pelatihan,
kepaniteraan) serta dikuasai selama dalam pendidikan (disamping kode etik yang
bisa berbeda sesuai dengan kekhususan disiplin ilmu dan perkumpulannya) seperti
misalnya teroi dasar mengenai kepribadian dengan perkembangan, gangguan,
perubahan dan penilaian dan alat penilainya. Oleh karena itu dimungkinkan untuk
memperoleh pendidikan yang memungkinkan bisa melakukan tugasnya sebagai
konselor, sebaliknya pendidikan untuk berkualifikasi dan berkompeten sebagai
psikoterapis secara lebih khusus.
Kegiatan untuk melakukan konseling
bisa dilakukan misalnya di sekolah atau Lembaga Pendidikan yang lain, termasuk
Perguran Tinggi, Lembaga atau Biro khusus atau prkatis pribadi untuk memberikan
layanan mengenai hal itu. Psikoterapi juga bisa dilakukan dalam kegiatan yang
sifatnya klinis di sekolah atau Lembaga/Yayasan tersebut, dengan pengaturan
tempat dan suasana yang khusus, sekalipun lebih banyak dilakukan di Lembaga
yang berhubungan dengan kesehatan, seperti Rumah Sakit atau juga
Lembaga/Biro/Yayasan khusus atau praktik pribadi. Sebaliknya konseling dalam
kegiatan tertentu juga bisa dilakukan di lembaga-lembaga seperti tersebut di
atas termasuk Lembaga Kesehatan. Faktor tempat karena itu meskipun bisa
memberikan ciri khusus dan membedakan antara konselor dan psikoterpis, namun
pembedaan yang lebih tegas sulit bisa dilakukan. Dalam hal ini latar belakang
pendidikan dan kualifikasi keprofesiannya akan lebih mudah dipakai untuk membedakan
keduanya.
Mengenai klien dan konselor, Blocher
(dalam Gunarsa, 2007) mengemukakan ciri-ciri untuk membedakan antara konseling
dan psikoterapi, sebagai berikut:
1. Klien yang menjalani konseling tidak digolongkan
sebagai penderita penyakit jiwa, tetapi dipandang sebagai seseorang yang mampu
memilih tujuan-tujuannya, membuat keputusan dan secara umum bisa bertanggung
jawab terhadap perbuatannya sendiri dan terhadap hari depannya.
2. Konseling dipusatkan pada keadaan sekarang dan yang
akan datang.
3. Klien adalah klien dan bukan pasien. Konselor bukanlah
tokoh otoriter namun adalah seorang “pendidik” dan “mitra” dari klien dalam
melangkah bersama untuk mencapai tujuan.
4. Konselor tidaklah netral secara moral atau tidak
bermoral, melainkan memiliki nilai-nilai, perasaan dan normanya sendiri,
meskipun konselor tidak perlu memaksakan hal ini kepada klien, namun ia juga
tidak menutupinya.
5. Konselor memusatkan pada perubahan perilaku, tidak
hanya menumbuhkan pengertian.
Mengenai metode, perbedaan antara keduanya sebenarnya tidak terlalu besar,
demikian diucapkan oleh Patterson (dalam Gunarsa, 2007), karena beberapa metode
pada masing-masing seperti penciptaan rapport,
peranan klien dan arah hubungan atau pendekatan, kesemuanya dipakai oleh
keduanya. Black juga mengemukakan bahwa beberapa metode yang universal dan
esensial pada psikoterapi seperti rapport,
menerima dan menghargai hakikat dan martabat pasien, kualitas hubungan dengan
pembatasan-pembatasannya, semua bisa dipakai dalam konseling. Hal yang
kira-kira sama juga dikemukakan oleh Tyler (dalam Gunarsa, 2007). Membedakan
metode keduanya karena itu sulit dilakukan secara tajam, hal ini karena di
dalam psikoterapi sendiri banyak sekali metode yang berlainan satu sama lain,
demikian juga di dalam konseling itu sendiri, sehingga mempersulit membedakan
keduanya.
Perbedaan mengenai metode ini kemudian diringkas oleh Stefflre dan Grant
(dalam Gunarsa, 2007) yaitu konseling ditandai oleh jangka waktu yang lebih
singkat, lebih sedikit waktu pertemuannya, lebih banyak melakukan evaluasi
psikologis, lebih memperhatikan masalah sehari-hari klien, lebih memberikan
nasihat, kurang berhubungan dengan transferens, lebih menekankan pada situasi
yang riil, lebih kognitif dan berkurang intensitas emosi, lebih menjelaskan
atau menerangkan dan lebih sedikit kekaburannya.
Untuk mengakhiri uraian ini, dan memudahkan memperoleh gambaran yang lebih
baru mengenai perbedaan konseling dan psikoterapi, dikutip uraian dari Brammer
& Shostorm dan Thompson & Rudolph (dalam Gunarsa, 2007) di bawah ini:
1. Konseling ditandai oleh adanya terminology
seperti: “educational, vocational, supportive, situational, problem
solving, conscious awareness, normal, present-time dan short-term”
2. Sedangkan psikoterapi ditandai oleh: “supportive (dalam
keadaan kritis),reconstructive, depth emphasis, analytical, focus on the
past, neurotics and other severe emotional problems and long-term”.
Perbedaan konseling dan psikoterapi disimpulkan oleh Pallone dan Patterson
yang dikutip oleh Thompson dan Rudolph, sebagai berikut:
1.
Konseling untuk
a.
Klien
b.
Gangguan yang kurang serius
c.
Masalah: jabatan, pendidikan
d.
Berhubungan dengan pencegahan
e.
Lingkungan pendidikan dan nonmedis
f.
Berhubungan dengan kesadaran
g.
Metode pendidikan
2.
Psikoterapi untuk
a.
Pasien
b.
Gangguan yang serius
c.
Masalah kepribadian dan mengambil keputusan
d.
Berhubungan dengan penyembuhan
e.
Lingkungan medis
f.
Berhubungan dengan ketidaksadaran
g.
Metode penyembuhan
B.
Bentuk-bentuk
Utama dari Terapi
Psikoterapi
menurut Phares (dalam Santoso dan Markam, 2007) dapat dibedakan dalam beberapa
aspek, yakni menurut taraf kedalamannya, dan menurut tujuannya. Menurut
kedalamannya dibedakan psikoterapi suportif, psikoterapi reedukatif, dan
psikoterapi rekonstruktif.
1. Terapi
Suportif
Tujuannya
memperkuat perilaku penyesuaian diri klien yang sudah baik, memberi dukungan
psikologis, dan menghindari diri dari usaha untuk menggali apa yang ada dalam
alam bawah sadar. Alasan penghindaran karena kalau akan di “bongkar”
ketidaksadarannya, klien ini kemungkinan akan menjadi lebih parah dalam
penyesuaian dirinya. Psikoterapi suportif biasanya dilakukan untuk memberikan
dukungan pada klien untuk tetap bertahan menghadapi kesulitannya.
Contoh
terapi suportif yang bertujuan mengatasi krisis yang biasa dilakukan di dalam
rumah sakit atau dalam pusat krisis di lingkungan masyarakat yang sedang
mengalami trauma. Misalanya mengatasi trauma kekerasan (di pusat krisis), atau
pada pasin yang akan mengalami psikosis (di klinik RS).
2. Psikoterapi
Reedukatif
Psikoterapi
reeducatif bertujuan untuk mengubah pikiran atau perasaan klien agar ia dapat
berfungsi lebih efektif. Di sini terapis tidak hanya memberi dukungan, tetapi
juga mengajak klien atau pasien untuk mengkaji ulang keyakinan klien, mendidik
kembali, agar ia dapat menyesuaikan diri lebih baik setelah mempunyai pemahaman
yang baru atas persoalannya. Terapis di sini tidak hanya membatasi diri
membahas kesadaran saja, namun juga tidak terlalu menggali ketidaksadaran.
Psikoterapi jenis redukatif ini biasanya terjadi dalam konseling.
3. Psikoterapi
Rekonstruktif
Bertujuan
untuk mengubah seluruh kepribadian pasien atau klien, dengan menggali
ketidaksadaran klien, menganalisis mekanisme defensif yang patologis, memberi pemahaman
akan adanya proses-proses tidak sadar, dan seterusnya. Psikoterapi jenis ini
berkaitan dengan pendekatan psikoanalisis dan biasanya langsung intensif dalam
waktu yang sangat lama.
DAFTAR
PUSTAKA
Gunarsa, S. (2007). Konseling dan
psikoterapi. https://books.google.co.id/books?id=-vjvjGDxJi4C&printsec=frontcover&dq=konseling+dan+psikoterapi&hl=id&sa=X&ei=rBAIVb6WKZWiuQS3qoI4&ved=0CBsQ6AEwAA#v=onepage&q=konseling%20dan%20psikoterapi&f=false.
Diakses pada 17 Maret 2015 pukul 19.37 WIB.
Santoso, S. S. I dan Markam, S. (2007). Pengantar psikologi klinis. Jakarta:
UI-Press.
This entry was posted
on 07.54
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
.