Person Centered Therapy
Posted
Terapi person centered merupakan
model terapi berpusat pribadi yang dipelopori dan dikembangkan oleh psikolog
humanistis Carl R. Rogers. Ia memiliki pandangan dasar tentang manusia, yaitu
bahwa pada dasarnya manusia itu bersifat positif, makhluk yang optimis, penuh
harapan, aktif, bertanggung jawab, memiliki potensi kreatif, bebas (tidak
terikat oleh belenggu masa lalu), dan berorientasi ke masa yang akan datang dan
selalu berusaha untuk melakukan self fullfillment (memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri untuk bisa beraktualisasi diri). Filosofi tentang
manusia ini berimplikasi dan menjadi dasar pemikiran dalam praktek terapi person
centered. Menurut Roger konsep inti terapi person centered adalah
konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Berdasarkan sejarahnya, terapi yang
dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perkembangan. Pada mulanya dia
mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive
counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori
konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor
atau directive counseling dan terlalu tradisional. Pada
1951 Rogers mengubah namanya menjadi client-centered therapy sehubungan
dengan perubahan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya
reflektif terhadap perasaan klien. Kemudian pada 1957 Rogers mengubah sekali
lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person
centred therapy), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya
keserasian pengalaman baik pada klien maupun terapis. Terapi ini memperoleh
sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat
berkembang secara pesat. Hingga saat ini, terapi ini masih relevan untuk
dipelajari dan diterapkan.
Pendekatan terapi person
centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang
penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Terapi ini berfokus pada
bagaimana membantu dan mengarahkan klien pada pengaktualisasian diri untuk
dapat mengatasi permasalahannya dan mencapai kebahagiaan atau mengarahkan
individu tersebut menjadi orang yang berfungsi sepenuhnya. Konsep pokok yang
mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self),
aktualisasi diri, teori kepribadian, dan hakekat kecemasan.
Terapi ini cocok untuk orang-orang
dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka
biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya,
sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. Contohnya orang-orang
yang merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain, pengasingan yakni orang
yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan
antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan
yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive,
dan berperilaku yang salah penyesuaiannya.
Ciri-Ciri Person-Centered Therapy
1. Terapi berpusat pada person
difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara
menghadapi kenyataan lebih sempurna.
2. Menekankan medan fenomenal klien.
Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan pengalaman
seseorang yang diterimanya, baik yang disadari maupun yang tidak disadari.
Klien tidak lagi menolak atau mendistorsi pengalaman-pengalaman sebagaimana
adanya.
3. Prinsip-prinsip psikoterapi
berdasarkan bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia
sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak
psikoterapeutik terjadi karena hubungan terapis dan klien.
4. Terapi ini tidak dilakukan dengan
suatu sekumpulan teknik yang khusus. Tetapi pendekatan ini berfokus pada person
sehingga terapis dan klien memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi
dalam pengalaman pertumbuhan.
Teknik-Teknik Person-Centered Therapy
Terapi ini tidak memiliki metode
atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis
dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun
hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi
area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis
memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif
dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya
menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan
perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun
tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya
atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas
hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke
dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
· Menerima. Terapis menerima pasien dengan
respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif.
Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi
kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman
dirinya dan perubahan yang positif.
· Keselarasan
(congruence). Terapis
dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang
dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
· Pemahaman. Terapis mampu melihat pasien dalam
cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
· Mampu
mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini. Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan
pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan
terapis jelas bagi pasien.
· Hubungan
yang membawa akibat. Suatu
hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang
aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.
Tahap-Tahap Person-Centered Therapy
Jika dilihat dari apa yang dilakukan
terapis dapat dibuat dua tahap, yaitu;Pertama, tahap membangun
hubungan terapeutik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang
substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa
syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas
hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi
pengalaman klien dalam proses hubungan terapi dapat dijabarkan bahwa proses
terapi dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu;
1. Klien datang ke terapis dalam
kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri
yang tidak baik.
2. Saat klien menjumpai terapis dengan
penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang
dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada
pada klien adalah ketidakmampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
3. Pada awal terapi klien menunjukan
perilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang
dialami kepada terapis secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang
dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan
masalahnya, dan mungkin bersikap defensif.
4. Klien mulai menghilangkan sikap dan
perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap
lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilangkan pengalaman yang
didistorsinya.
This entry was posted
on 08.16
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
.