Tongkonan adalah rumah tradisional
Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna
merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk"). Tongkonan
merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan
tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena
itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan
hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut
cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang.
Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan
menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah
pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar.
Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi,
yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat tradisi
lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas
kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa
yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah
memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka
biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga
bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta
pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan
berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya
disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat
yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman
lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian,
lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang
dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman
anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang
baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun
sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan
dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja
percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi
merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah,
atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazahdibungkus dengan beberapa
helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan
melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau
yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai
kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang
dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan
kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika
ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan
puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang
menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut
diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai
utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati
dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di
tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa
daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua
dan menghadap ke luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di
sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk
dan membuat petinya terjatuh.
Bahasa Toraja adalah bahasa yang
dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional
adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat akan tetapi bahasa Toraja pun
diajarkan di semua sekolah dasar di
Tana Toraja. Ragam bahasa di
Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk
dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari
bahasa Austronesia. Pada mulanya,
sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam
bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja,
beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses
transmigasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab
utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Nah dari kedua suku yang saya
bahas, suku Toraja ini yang sangat-sangat menarik perhatian saya. Karena upacara
pemakaman di suku Toraja ini sangat unik sekali hehe :).
This entry was posted
on 13.51
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
.