Hai hai
sudah lama tak jumpa.. :) kali ini saya bakal menulis tugas tulisan
saya mengenai kebudayaan di provinsi Sulawesi Selatan. Waktu kelas satu saya
juga pernah mendapat tugas ke TMII untuk mencari tahu kebudayaan salah satu
provinsi di Indonesia. Terlintaslah di pikiran saya untuk menggali lebih dalam
kebudayaan Sulawesi Selatan. Saya pergi ke anjungan tersebut dan bertemu dengan
tour guide yang ada di sana dan bertanya-tanya
mengenai kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan ini. Nah berawal dari tugas,
sekarang saya akan mencoba menceritakannya di dalam blog saya :)
Salah satu kebiasaan yang cukup dikenal di Sulawesi Selatan adalah
Mappalili. Mappalili (Bugis) atau Appalili (Makassar) berasal dari kata palili
yang memiliki makna untuk menjaga tanaman padi dari sesuatu yang akan
mengganggu atau menghancurkannya. Mappalili atau Appalili adalah ritual
turun-temurun yang dipegang oleh masyarakat Sulawesi Selatan, masyarakat dari
Kabupaten Pangkep terutama Mappalili adalah bagian dari budaya yang sudah
diselenggarakan sejak beberapa tahun lalu. Mappalili adalah tanda untuk mulai
menanam padi. Tujuannya adalah untuk daerah kosong yang akan ditanam,
disalipuri (Bugis) atau dilebbu (Makassar) atau disimpan dari gangguan yang biasanya
mengurangi produksi.
Sulawesi Selatan ini terdiri dari berbagai macam suku bangsa yaitu
Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, Pattinjo, Bone, Maroangin, Endekan,
Pattae dan Kajang/Konjo. Saya ga bisa bahas semuanya, mungkin saya hanya bisa
membahas beberapa suku saja seperti suku Bugis dan Toraja. Kenapa harus kedua
suku ini? Karena kedua suku inilah yang paling dominan di Sulawesi Selatan.
1. Suku
Bugis
Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah
Kabupaten Sidenreng Rappang.. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang
ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong
menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan
permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa
disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang Selatan’.
Karena
masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata
pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu
masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan
dan menekuni bidang pendidikan.
Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan
ideal menurut masyarakat di suku Bugis. Apa saja? Mari kita lihat…..
- Assialang Maola: perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.
- Assialanna Memang: perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupun ibu.
- Ripaddeppe’ Abelae: perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga.
Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap
sumbang (salimara’) menurut masyarakat suku Bugis yaitu:
- Perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
- Perkawinan antara saudara sekandung
- Perkawinan antara menantu dan mertua
- Perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
- Perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu
Tahap
– tahap dalam perkawinan secara adat menurut masyarakat suku Bugis yaitu:\
- Lettu ( lamaran: kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk menyampaikan keinginannya untu melamar calon mempelai perempuan.
- Mappettuada (kesepakatan pernikahan): kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya.
- Madduppa (Mengundang): kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua belah pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang akan dilaksanakan.
- Mappaccing (Pembersihan): ritual yang dilakukan masyarakat bugis (biasanya hanya dilakukan oleh kaum bangsawan), ritual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai, dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun pacci (daun pacar), kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.
Hari
pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja, ialah prosesi dari mempelai
laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan
membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai
wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara
pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu
memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah
mempelai wanita selesai dilanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar
mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki. mappaenre botting adalah
beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga
mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan
memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap
keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri
yang disebut nalaoanni alena.
Kepercayaan masyarakat
suku bugis dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau
pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang
tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan
berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah
mereka.
Ada
kisah hukum adat di Sidrap pernah
hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang
Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di
masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan
keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan
pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai
saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to
nakkeana. (Terjemahan: sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak
mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah
suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat
menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau
martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang
membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah
luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh
anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya
melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis
kebanyakan.
Walaupun
tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi ketika dipanggil
oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri
peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’
disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo,
Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di
Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini
terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui
musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau
dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para
Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat.
Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati
kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun
sudah menerapkannya.
Adat panen ini
dilakukan mulai dari turun ke
sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum
pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi
disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi
balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk
menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai
dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang
padi. Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang
biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu
barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal
dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda.
Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini. Bagi
komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup
petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk
manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh
sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang
Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang
sangat dihormati.
Bahasa suku Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi
Selatan, yang tersebar di kabupaten sebagian Kabupaten Maros, sebahagian
Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang,
sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu,
Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone,
Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis
memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum
ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis
menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan
huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad
ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.
This entry was posted
on 13.49
.
You can leave a response
and follow any responses to this entry through the
.